Rabu, 20 November 2013

MAPPACCI

  
“PEMBAHASAN TENTANG MAPPACCI”


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu
Pada Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
Dosen : Drs. Makmur Nurdin, M.Si





Oleh :
SRI AULIYANINGSI
1247241026
22B






PGSD UPP BONE
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013




I.                PENDAHULUAN

A.              Latar belakang
Dalam sejarah (lontara’) diketahui bahwa masyarakat bugis pada umumnya dan masyarakat bone khususnya, awalnya hanya mengenal kepercayaan yang bersifat animisme yang kita kenal sebagai bentuk kebudayaan asli. Kemudian, setelah masuknya kebudayaan India (Hindu), barulah menjadi penganut agama monoisme. Selanjutnya Islam masuk sekitar abad ke-14 yang menyebabkan terjadinya asimilasi antara ajaran Islam dengan ajaran Hindu, bahkan tidak terlepas dari ajaran leluhur tradisional yang bersifat animisme yang dianggap sebagai kebudayaan asli.
Proses islamisasi berlangsung secara intensif dengan pendekatan persuasif terhadap kepercayaan leluhur dan ajaran hindu. Oleh karena itu, penerimaan ajaran islam oleh kepercayaan animisme dan ajaran hindu berlangsung dengan cepat dan cukup mudah. Hal ini terlihat sangat jelas pada prosesi perkawinan adat masyarakat bugis bone dan makassar disulawesi selatan dan juga masyarakat mandar di sulawesi barat dan pada acara-acara adat tradisi lainnya.
Prosesi perkawinan adat masyarakat bugis disetiap daerah umumnya hampir sama diantaranya tahap penjajakan (mappese’-pese’), kunjungan lamaran (madduta), penerimaan lamaran (mappettu ada), penyerahan uang belanja (mappenre’dui), dan pesta (tudang botting). Hanya saja yang sering menjadi perbedaan dalam prosesi perkawinan adat masyarakat bugis disetiap daerah adalah pelaksanaan upacara adat sebelum perkawinan seperti mappaisseng, mappasau (mandi uap), mappacci (tudang penni), kawissoro, mappasilukang dan mappasikarawa, serta mappanre temme. Namun perbedaan ini tidak menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya masyarakat bugis ini luntur atau hilang.
Keseluruhan prosesi upacara adat dalam perkawinan masyarakat bugis masing-masing memiliki nilai budaya yang terkandung didalamnya, namun makalah ini  hanya akan mengkaji nilai budaya atau makna yang terkandung dalam prosesi adat mappacci (tudang penni) dalam upacara perkawinan masyarakat bugis bone mengingat upacara adat mappacci dewasa ini telah merakyat khususnya dikabupaten bone, dahulu dikalangan bangsawan bugis bone upacara mappacci ini dilaksanakan tiga malam berturut-turut, akan tetapi saat ini pada umumnya acara mappacci dilaksanakan satu malam saja, yaitu sehari sebelum upacara perkawinan.




  


II.              PEMBAHASAN

1.       Pengertian Mappacci

Mappacci adalah kata kerja dari ‘mapaccing’ yang berarti bersih. Terkadang, di beberapa daerah Bugis, mappacci dikenal dengan sebutan mappepaccing. Dalam bahasa Bugis, mappacci/mappepaccing merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur. Adapun kata perintahnya ‘paccingi’ yang berarti bersifat menyuruh atau memerintahkan untuk membersihkan. Paccingi kasoro’mu berarti bersihkan kasurmu. Kebanyakan kata kerja dalam bahasa bugis diawali dengan kata ‘Ma’, seperti; maggolo (main bola), mattinju (bertinju), mallaga (berkelahi), mammusu’ (bertempur), makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata mapaccing dan mappacci merupakan dua kata yang kalau dilihat sekilas agaknya sama, namun memiliki arti yang berbeda. Mappaccing merupakan kata sifat dan mappacci adalah kata kerja. Kita sering mendengarkan penggunaan kata ini dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di masyakat Bugis di kabupaten bone.[1]
Perkembangan selanjutnya, istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkaian kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Bone. Mappaccing lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai perempuan, terkadang sehari, sebelum pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara mappaccing dihadiri oleh segenap keluarga untuk meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun temurun ini. Dalam prosesi mappaccing, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci (biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, sarung sutera, lilin, dan sebagainya. [2]

Mappaccing atau tudang penni dahulu dilakukan diluar rumah masing-masing kedua mempelai. Untuk memasuki upacara ini dahulu diadakan upacara pengambilan pacci yang disebut “Mallekke Pacci” yang dilakukan pada sore hari.
Apabila yang akan melaksanakan perkawinan adalah bangsawan maka tempat mallekke pacci dirumah raja, tetapi setelah zaman kerajaan berlalu, tempat mallekke pacci dirumah orang yang berkedudukan (pejabat) yang sebelumnya telah dimintai persetujuannya.[3]
Rombongan pallekke pacci ini terdiri dari laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian adat lengkap, iring-iringan rombongan terdiri dari :
·       Pembawa tombak
·       Pembawa tempat sirih
·       Pembawa hidangan kue-kue adat lise bosara dengan minuman dan peralatannya untuk suguhan raja atau pejabat negeri
·       Pembawa tempat pacci diusung dan dipayungi dengan pallellu
·       Pembawa alat-alat bunyi-bunyian berupa gendang, gong, ana’ baccing dan sebagainya.[4]
Namun dewasa ini dengan adanya perubahan situasi dan kondisi, acara mallekke pacci jarang dilaksanakan. Demikian pula dengan pembacaan barasanji atau berdzikir tidak lagi dilaksanakan pada malam hari, tetapi pada pagi hari sebelum upacara mappaccing.
Dahulu pembacaan dzikir bersamaan dengan upacara mappacci yaitu setelah doa selamat penghulu syara’ berdzikir dan saat tiba pada bacaan asyaraka orang-orang kemudian berdiri dan mulailah secara berturut-turut membubuhi pacci ditelapak tangan pengantin yang duduk diatas lamming. Hadirin, utamanya orang-orang yang berkedudukan (pejabat) didahulukan untuk memberi pacci pada pengantin.[5]
Dahulu karena pada umumnya calon pengantin tidak saling mengenal bahkan saling melihat pun tidak. Maka pada malam mappaccing, pengantin laki-laki berpakaian adat lengkap dan diantar kerumah mempelai wanita untuk melihat dari jauh calon istrinya yang disebut “majjajareng” sementara pengantin wanita dengan pakaian adat lengkap diatas pelaminan. Lalu diadakan acara “ mappanre dewata” dengan suguhan berupa sokko empat atau tujuh macam dengan lauk pauk yang disimpan dalam pajek (tempat ikan yang diayam) sementara taibani menyala terus dan gendang berbunyi terus sampai acara selesai.[6]

2.     Peralatan Mappacci
Untuk melaksanakan upacara mappacci disiapkan 7 (tujuh) macam peralatan yang mengandung  arti / makna khusus. Kesemuanya merupakan satu rangkuman kata yang mengandung harapan dan doa bagi kesejahteraan dan kebahagiaan calon mempelai. Peralatan tersebut antara lain:
a)     bantal yang terbuat dari kain, berisi kapuk atau kapas, sebagai alas kepala pada saat tidur melambangkan kesuburan. Menurut cerita dahulu kala jika mencari calon isteri, si pria tidak perlu melihat secara langsung si gadis tapi cukup dengan melihat hasil tenunannya, rapi atau tidak ?. Bila tenunannya rapi dan bagus maka pilihan pria akan jatuh pada gadis tersebut
b)     Pucuk daun pisang yang diletakkan diatas bantal, melambangkan kehidupan yang berkesinambungan sebagaimana keadaan pohon pisang yang setiap saat terjadi pergantian daun. Bagi masyarakat bugis diartikan sebagai kelanjutan keturunan. Diatas daun pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa muda. Dalam tradisi masyarakat Bugis-bone, menikmati kelapa muda, terasa kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa muda sudah identik dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti itulah kehidupan rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk saling melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi. Terakhir, mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang. Maksud dari lilin, agar suami-istri mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa yang akan datang.
c)     Sarung bugis (sebanyak tujuh lembar diletakkan secara berlapis-lapis diatas pucuk daun pisang lipa’sabbe), melambangkan martabat atau harga diri. Karena sarung bagi orang bugis khususnya masyarakat bone dulunya merupakan penutup aurat. Tujuh lembar mengandung makna kebenaran, tuju dalam bahasa bugis berarti benar, mattujui berarti berguna. Berdasarkan pengertian ini, para keluarga calon mempelai mengharapkan setelah melangsungkan perkawinan, pada hari-hari mendatang keduanya berguna bagi dirinya sendiri, maupun terhadap keluarga dan orang lain.
d)     Daun nangka (bugis = daun panasa) yang dihubung-hubungkan satu sama lainnya sehingga berbentuk tikar bundar, diletakkan diatas tujuh lembar sarung tadi. Daun panasa oleh orang bugis menghubungkan dengan kata menasa (cita-cita atau pengharapan). Hal ini mengandung makna agar calon mempelai nantinya setelah menikah memiliki pengharapan untuk membina rumah tangga dalam keadaan sejahtera dan murah rezeki. Daun nangka tentu tidak memiliki nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa belona kalukue (paccing). Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan Kesucian. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-bone dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
e)     Benno (kembang beras) ditaruh dalam sebuah piring dan diletakkan berdekatan dengan tempat daun pacci. Benno memiliki makna agar calon mempelai nantinya setelah berumah tangga dapat berkembang dan berketurunan yang dilandasi cinta kasih, penuh kedamaian dan kesejahteraan.
f)      Pesse’ pelleng yaitu alat penerang masa lalu sebelum orang mengenal minyak bumi dan listrik, yang terbuat dari kemiri yang ditumbuk halus dan dicampur dengan kapas agar mudah direkatkan pada lidi. Konon, zaman dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse’ (lampu penerang tradisional yang terbuat dari kotoran lebah).
Dewasa ini karena pesse pelleng sudah sulit untuk ditemukan, maka orang-orang menggantinya dengan lilin. Lilin itu diletakkan berdekatan dengan tempat benno dan daun pacci, yang mengandung makna agar calon mempelai dalam menempuh masa depannya senantiasa mendapat petunjuk dari Allah SWT.
g)     Air yang ditaruh dalam sebuah mangkok sebagai tempat mencuci tangan bagi orang yang akan melakukan acara mappacci, baik sebelum mengambil daun pacci maupun sesudah melakukan acara mappacci tersebut.[7]

Masih banyak lagi peralatan prosesi, yang biasa dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka. Namun, secara umum peralatan yang telah disebutkan diatas, standar yang sering digunakan oleh masyarakat bugis di kabupaten Bone.
 Setelah peralatan mappacci siap, calon pengantin didudukkan dipelaminan, jika calon pengantinnya dari turunan bangsawan, maka dipakaikan lellu yang dipegang oleh empat orang remaja yang berpakaian adat dan jika calon pengantinnya laki-laki maka lellunya dipegang oleh 4 remaja laki-laki yang memakai sarung putih dan songkok putih (mattopong). Didepan pengantin diletakkan semacam bantal (sanreseng) sebagai alas, diatasnya disusun lipa’ sabbe biasanya tujuh lembar namun ada juga yang sembilan atau sebelas lembar. Selanjutnya diatas sarung diletakkan daun pisang dan terakhir diatas daun pisang diletakkan daun nangka, susunan peralatan ini digunakan sebagai wadah untuk meletakkan kedua telapak tangan mempelai yang pada acara mappacci akan diberi daun pacar (pacci) yang telah ditumbuk halus.[8]


3.     Pelaksanaan Mappacci
Pelaksanaan mappacci khususnya dimasyarakat bone dewasa ini sudah jarang dirangkaikan dengan dzikir, hanya diundang tujuh pasang / sembilan pasang (suami isteri) yang hidupnya terpandang dalam masyarakat (mempunyai jabatan atau materi) sebagai simbol agar kelak calon pengantin tersebut diharapkan dalam mengarungi bahtera rumah tangganya sama dengan orang yang memberi pacci. [9]
Proses pelaksanaan mappacci biasanya baru dilaksanakan setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Indo’ Botting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas untuk meletakkan pacci.
Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan setelah selesai memberikan pacci mereka diantar ketempat duduknya semula. Demikian seterusnya bergantian sampai selesai tujuh, sembilan, atau sebelas pasang suami isteri yang diundang untuk memberi pacci. Acara Mappacci ini diakhiri dengan peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa. Setelah itu para tamu dipersilahkan mencicipi hidangan (lise’bosara) yang berupa kue-kue tradisional yang umumnya penuh dengan simbol-simbol. Misalnya onde-onde malunra’ (enak dan manis). [10]
Pada malam mappaccing biasanya juga berbagai acara dilakukan seperti membaca sure selleang serta permainan lain yang diramu sedemikian rupa agar para tamu tidak tidur sampai upacara adat tersebut selesai.
Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti sejarah awal kapan kegiatan mappacci ditetapkan sebagai kewajiban adat bagi suku bugis sebelum pesta perkawinan. Namun menurut beberapa kelompok masyarakat dikabupaten bone, prosesi mappacci telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek moyang kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen dibumi Arung Palakka ini. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan masyarakat bugis khususnya dikabupaten bone.[11]
Demikianlah makna yang terkandung dalam upacara mappacci yang selalu dilakukan pada setiap upacara pernikahan adat di Sulawesi Selatan khususnya dikabupaten bone, karena mengandung simbol-simbol / maksud baik dengan tujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Olehnya itu, mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta perkawinan di kalangan masyarakat Bone. Namun, ketika Islam datang, prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan Islam sebagai agama mayoritas suku Bugis telah mengamini prosesi ini, melalui alim ulama yang biasa digelar Anregurutta.[12]
Mayoritas ulama di daerah Bugis menganggap mappacci  sebagai sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk mencari legalitas atau dalil mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat atau mengokohkan budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail.[13]






III.            PENUTUP


A.              SIMPULAN

·         Mappacci / mappepaccing adalah salah satu rangkaian kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Bone yang dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai perempuan sehari sebelum pesta walimah pernikahan.
·          Bantal yang terbuat dari kain, Pucuk daun pisang yang diletakkan diatas bantal, Sarung bugis (sebanyak tujuh lembar diletakkan secara berlapis-lapis diatas pucuk daun pisang lipa’sabbe), Daun nangka, Benno (kembang beras) ditaruh dalam sebuah piring dan diletakkan berdekatan dengan tempat daun pacci, Pesse’ pelleng yaitu alat penerang masa lalu, Air yang ditaruh dalam sebuah mangkok sebagai tempat mencuci tangan.
·          Upacara adat mappacci dilaksanakan Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Mappacci ini diakhiri dengan peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.




DAFTAR PUSTAKA


Lamallongeng, Asmat Riady. “Dinamika Perkawinan Adat Bone dalam Masyarakat Bugis Bone”, jilid I. Cet.I; Watampone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007


Youshand, Andi. “ Upacara Mappacci Adat Bugis Bone”, jilid I. Cet.I; Watampone : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2009


WAWANCARA :

-        A. Muh. Yunus. S.sos. (09-12-2012) Ketua I Lembaga Seni Budaya Arung Palakka

-        Fitri Pa’Bentengi. S.Pd. (09-12-2012) Sekretaris Umum Dewan Kesenian Bone






[1] Asmat riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Bone dalam Masyarakat Bugis Bone, jilid I(Cet.I.; watampone:Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bone, 2007), h.27
[2]  Ibid
[3]  Ibid., h. 28
[4]  Ibid., h.29
[5] Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 9 Desember 2012
[6] Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[7]  Andi Youshand, Upacara Mappacci Adat Bugis Bone,  jilid I(Cet.I.; watampone:Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bone, 2009), h.7
[8] Ibid., h.9
[9] A. Muh. Yunus.S.sos., Ketua I Lembaga Seni Budaya Arung Palakka, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[10] A. Muh. Yunus.S.sos., Ketua I Lembaga Seni Budaya Arung Palakka, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[11] Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[12] Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[13] Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012