Sri Auliyaningsi
Selasa, 26 November 2013
Rabu, 20 November 2013
MAPPACCI
“PEMBAHASAN TENTANG MAPPACCI”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu
Pada
Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar
Dosen
: Drs. Makmur Nurdin, M.Si
Oleh
:
SRI AULIYANINGSI
1247241026
22B
PGSD
UPP BONE
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2013
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dalam sejarah
(lontara’) diketahui bahwa masyarakat bugis pada umumnya dan masyarakat bone
khususnya, awalnya hanya mengenal kepercayaan yang bersifat animisme yang kita
kenal sebagai bentuk kebudayaan asli. Kemudian, setelah masuknya kebudayaan
India (Hindu), barulah menjadi penganut agama monoisme. Selanjutnya Islam masuk
sekitar abad ke-14 yang menyebabkan terjadinya asimilasi antara ajaran Islam
dengan ajaran Hindu, bahkan tidak terlepas dari ajaran leluhur tradisional yang
bersifat animisme yang dianggap sebagai kebudayaan asli.
Proses
islamisasi berlangsung secara intensif dengan pendekatan persuasif terhadap
kepercayaan leluhur dan ajaran hindu. Oleh karena itu, penerimaan ajaran islam
oleh kepercayaan animisme dan ajaran hindu berlangsung dengan cepat dan cukup
mudah. Hal ini terlihat sangat jelas pada prosesi perkawinan adat masyarakat
bugis bone dan makassar disulawesi selatan dan juga masyarakat mandar di
sulawesi barat dan pada acara-acara adat tradisi lainnya.
Prosesi
perkawinan adat masyarakat bugis disetiap daerah umumnya hampir sama
diantaranya tahap penjajakan (mappese’-pese’), kunjungan lamaran (madduta),
penerimaan lamaran (mappettu ada), penyerahan uang belanja (mappenre’dui), dan
pesta (tudang botting). Hanya saja yang sering menjadi perbedaan dalam prosesi
perkawinan adat masyarakat bugis disetiap daerah adalah pelaksanaan upacara
adat sebelum perkawinan seperti mappaisseng, mappasau (mandi uap), mappacci
(tudang penni), kawissoro, mappasilukang dan mappasikarawa, serta mappanre
temme. Namun perbedaan ini tidak menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam
budaya masyarakat bugis ini luntur atau hilang.
Keseluruhan
prosesi upacara adat dalam perkawinan masyarakat bugis masing-masing memiliki
nilai budaya yang terkandung didalamnya, namun makalah ini hanya akan mengkaji nilai budaya atau makna
yang terkandung dalam prosesi adat mappacci (tudang penni) dalam upacara
perkawinan masyarakat bugis bone mengingat upacara adat mappacci dewasa ini
telah merakyat khususnya dikabupaten bone, dahulu dikalangan bangsawan bugis
bone upacara mappacci ini dilaksanakan tiga malam berturut-turut, akan tetapi
saat ini pada umumnya acara mappacci dilaksanakan satu malam saja, yaitu sehari
sebelum upacara perkawinan.
II.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Mappacci
Mappacci adalah kata kerja dari
‘mapaccing’ yang berarti bersih. Terkadang, di beberapa daerah Bugis, mappacci
dikenal dengan sebutan mappepaccing. Dalam bahasa Bugis, mappacci/mappepaccing
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa
lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur. Adapun kata
perintahnya ‘paccingi’ yang berarti bersifat menyuruh atau memerintahkan untuk
membersihkan. Paccingi kasoro’mu berarti bersihkan kasurmu. Kebanyakan kata
kerja dalam bahasa bugis diawali dengan kata ‘Ma’, seperti; maggolo (main
bola), mattinju (bertinju), mallaga (berkelahi), mammusu’ (bertempur),
makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata mapaccing dan mappacci merupakan dua kata
yang kalau dilihat sekilas agaknya sama, namun memiliki arti yang berbeda. Mappaccing merupakan kata sifat dan mappacci adalah
kata kerja. Kita sering mendengarkan
penggunaan kata ini dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di masyakat Bugis di kabupaten
bone.[1]
Perkembangan
selanjutnya, istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu
rangkaian kegiatan dalam proses
perkawinan masyarakat Bugis-Bone. Mappaccing lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu
syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai perempuan, terkadang sehari, sebelum
pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara mappaccing dihadiri oleh segenap
keluarga untuk meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun temurun ini. Dalam
prosesi mappaccing, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala peralatan
yang harus dipenuhi, seperti; Pacci (biasanya berasal dari tanah arab, namun
ada pula yang berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal,
sarung sutera, lilin, dan sebagainya. [2]
Mappaccing atau tudang penni dahulu dilakukan diluar rumah masing-masing
kedua mempelai. Untuk memasuki upacara ini dahulu diadakan upacara pengambilan
pacci yang disebut “Mallekke Pacci”
yang dilakukan pada sore hari.
Apabila yang akan melaksanakan perkawinan adalah bangsawan maka tempat
mallekke pacci dirumah raja, tetapi setelah zaman kerajaan berlalu, tempat
mallekke pacci dirumah orang yang berkedudukan (pejabat) yang sebelumnya telah
dimintai persetujuannya.[3]
Rombongan pallekke pacci ini terdiri dari laki-laki dan perempuan yang
mengenakan pakaian adat lengkap, iring-iringan rombongan terdiri dari :
·
Pembawa tombak
·
Pembawa tempat sirih
·
Pembawa hidangan
kue-kue adat lise bosara dengan minuman dan peralatannya untuk suguhan raja
atau pejabat negeri
·
Pembawa tempat pacci
diusung dan dipayungi dengan pallellu
·
Pembawa alat-alat
bunyi-bunyian berupa gendang, gong, ana’ baccing dan sebagainya.[4]
Namun dewasa ini dengan adanya perubahan
situasi dan kondisi, acara mallekke pacci jarang dilaksanakan. Demikian pula
dengan pembacaan barasanji atau berdzikir tidak lagi dilaksanakan pada malam
hari, tetapi pada pagi hari sebelum upacara mappaccing.
Dahulu pembacaan dzikir bersamaan dengan
upacara mappacci yaitu setelah doa selamat penghulu syara’ berdzikir dan saat
tiba pada bacaan asyaraka orang-orang kemudian berdiri dan mulailah secara
berturut-turut membubuhi pacci ditelapak tangan pengantin yang duduk diatas
lamming. Hadirin, utamanya orang-orang yang berkedudukan (pejabat) didahulukan
untuk memberi pacci pada pengantin.[5]
Dahulu karena pada umumnya calon
pengantin tidak saling mengenal bahkan saling melihat pun tidak. Maka pada
malam mappaccing, pengantin laki-laki berpakaian adat lengkap dan diantar
kerumah mempelai wanita untuk melihat dari jauh calon istrinya yang disebut “majjajareng” sementara pengantin wanita
dengan pakaian adat lengkap diatas pelaminan. Lalu diadakan acara “ mappanre dewata” dengan suguhan berupa
sokko empat atau tujuh macam dengan lauk pauk yang disimpan dalam pajek (tempat
ikan yang diayam) sementara taibani menyala terus dan gendang berbunyi terus
sampai acara selesai.[6]
2.
Peralatan Mappacci
Untuk melaksanakan upacara mappacci disiapkan 7 (tujuh) macam peralatan
yang mengandung arti / makna khusus.
Kesemuanya merupakan satu rangkuman kata yang mengandung harapan dan doa bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan calon mempelai. Peralatan tersebut antara lain:
a)
bantal yang terbuat
dari kain, berisi kapuk atau kapas, sebagai alas kepala pada saat tidur
melambangkan kesuburan. Menurut cerita dahulu kala jika mencari calon isteri,
si pria tidak perlu melihat secara langsung si gadis tapi cukup dengan melihat
hasil tenunannya, rapi atau tidak ?. Bila tenunannya rapi dan bagus maka
pilihan pria akan jatuh pada gadis tersebut
b)
Pucuk daun pisang yang
diletakkan diatas bantal, melambangkan kehidupan yang berkesinambungan
sebagaimana keadaan pohon pisang yang setiap saat terjadi pergantian daun. Bagi
masyarakat bugis diartikan sebagai kelanjutan keturunan. Diatas daun
pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa muda. Dalam tradisi
masyarakat Bugis-bone, menikmati
kelapa muda, terasa kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa
muda sudah identik dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti
itulah kehidupan rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk
saling melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi.
Terakhir, mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang. Maksud
dari lilin, agar suami-istri mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa
yang akan datang.
c)
Sarung bugis (sebanyak
tujuh lembar diletakkan secara berlapis-lapis diatas pucuk daun pisang lipa’sabbe),
melambangkan martabat atau harga diri. Karena sarung bagi orang bugis khususnya
masyarakat bone dulunya merupakan penutup aurat. Tujuh lembar mengandung makna
kebenaran, tuju dalam bahasa bugis
berarti benar, mattujui berarti
berguna. Berdasarkan pengertian ini, para keluarga calon mempelai mengharapkan setelah
melangsungkan perkawinan, pada hari-hari mendatang keduanya berguna bagi
dirinya sendiri, maupun terhadap keluarga dan orang lain.
d) Daun nangka (bugis = daun panasa) yang dihubung-hubungkan satu sama lainnya
sehingga berbentuk tikar bundar, diletakkan diatas tujuh lembar sarung tadi.
Daun panasa oleh orang bugis menghubungkan dengan kata menasa (cita-cita atau
pengharapan). Hal ini mengandung makna agar calon mempelai nantinya setelah
menikah memiliki pengharapan untuk membina rumah tangga dalam keadaan sejahtera
dan murah rezeki. Daun nangka tentu tidak memiliki nilai jual, tapi
menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah berkata dalam bahasa
Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna
panasae (lempuu) sibawa belona kalukue (paccing). Maksudnya, dalam mengarungi
kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan
Kesucian. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, calon pengantin
senantiasa berpegang pada kejujuran dan kebersihan yang meliputi lahir dan
batin. Dua modal utama inilah yang menjadi pegangan penting, bagi masyarakat
Bugis-bone dalam mengarungi bahtera rumah
tangga.
e)
Benno (kembang beras)
ditaruh dalam sebuah piring dan diletakkan berdekatan dengan tempat daun pacci.
Benno memiliki makna agar calon mempelai nantinya setelah berumah tangga dapat
berkembang dan berketurunan yang dilandasi cinta kasih, penuh kedamaian dan
kesejahteraan.
f)
Pesse’ pelleng yaitu
alat penerang masa lalu sebelum orang mengenal minyak bumi dan listrik, yang
terbuat dari kemiri yang ditumbuk halus dan dicampur dengan kapas agar mudah
direkatkan pada lidi. Konon, zaman dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse’
(lampu penerang tradisional yang terbuat dari kotoran lebah).
Dewasa ini karena
pesse pelleng sudah sulit untuk ditemukan, maka orang-orang menggantinya dengan
lilin. Lilin itu diletakkan berdekatan dengan tempat benno dan daun pacci, yang
mengandung makna agar calon mempelai dalam menempuh masa depannya senantiasa
mendapat petunjuk dari Allah SWT.
g)
Air yang ditaruh dalam
sebuah mangkok sebagai tempat mencuci tangan bagi orang yang akan melakukan
acara mappacci, baik sebelum mengambil daun pacci maupun sesudah melakukan
acara mappacci tersebut.[7]
Masih banyak
lagi peralatan prosesi, yang biasa dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat
dan kebiasaan mereka. Namun, secara umum peralatan yang telah disebutkan
diatas, standar yang sering digunakan oleh masyarakat
bugis di kabupaten Bone.
Setelah peralatan mappacci siap, calon pengantin didudukkan dipelaminan,
jika calon pengantinnya dari turunan bangsawan, maka dipakaikan lellu yang
dipegang oleh empat orang remaja yang berpakaian adat dan jika calon
pengantinnya laki-laki maka lellunya dipegang oleh 4 remaja laki-laki yang
memakai sarung putih dan songkok putih (mattopong). Didepan pengantin
diletakkan semacam bantal (sanreseng) sebagai alas, diatasnya disusun lipa’
sabbe biasanya tujuh lembar namun ada juga yang sembilan atau sebelas lembar.
Selanjutnya diatas sarung diletakkan daun pisang dan terakhir diatas daun
pisang diletakkan daun nangka, susunan peralatan ini digunakan sebagai wadah
untuk meletakkan kedua telapak tangan mempelai yang pada acara mappacci akan
diberi daun pacar (pacci) yang telah ditumbuk halus.[8]
3.
Pelaksanaan Mappacci
Pelaksanaan
mappacci khususnya dimasyarakat bone dewasa ini sudah jarang dirangkaikan
dengan dzikir, hanya diundang tujuh pasang / sembilan pasang (suami isteri)
yang hidupnya terpandang dalam masyarakat (mempunyai jabatan atau materi)
sebagai simbol agar kelak calon pengantin tersebut diharapkan dalam mengarungi
bahtera rumah tangganya sama dengan orang yang memberi pacci. [9]
Proses
pelaksanaan mappacci biasanya baru dilaksanakan setelah para
undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah
dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan
barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi
peletakan pacci dimulai oleh Indo’ Botting yang
kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas
untuk meletakkan pacci.
Satu persatu
para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa
lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan setelah selesai memberikan pacci mereka diantar ketempat duduknya semula.
Demikian seterusnya bergantian sampai selesai tujuh, sembilan, atau sebelas
pasang suami isteri yang diundang untuk memberi pacci. Acara
Mappacci ini diakhiri dengan peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan
ditutup dengan doa. Setelah itu
para tamu dipersilahkan mencicipi hidangan (lise’bosara) yang berupa kue-kue
tradisional yang umumnya penuh dengan simbol-simbol. Misalnya onde-onde
malunra’ (enak dan manis). [10]
Pada malam mappaccing biasanya juga berbagai acara dilakukan seperti
membaca sure selleang serta permainan lain yang diramu sedemikian rupa agar
para tamu tidak tidur sampai upacara adat tersebut selesai.
Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti sejarah awal kapan kegiatan mappacci
ditetapkan sebagai kewajiban adat bagi suku bugis sebelum pesta perkawinan. Namun menurut
beberapa kelompok masyarakat dikabupaten bone, prosesi mappacci
telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek moyang kita, bahkan
sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen dibumi Arung
Palakka ini. Oleh
karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan
sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan masyarakat
bugis khususnya dikabupaten bone.[11]
Demikianlah
makna yang terkandung dalam upacara mappacci yang selalu dilakukan pada setiap
upacara pernikahan adat di Sulawesi Selatan khususnya dikabupaten bone, karena
mengandung simbol-simbol / maksud baik dengan tujuan untuk membersihkan
jiwa dan raga calon pengantin sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Olehnya itu, mappacci
menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta perkawinan di
kalangan masyarakat Bone. Namun, ketika Islam datang, prosesi
ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan Islam
sebagai agama mayoritas suku Bugis telah mengamini prosesi ini, melalui alim
ulama yang biasa digelar Anregurutta.[12]
Mayoritas ulama di daerah Bugis
menganggap mappacci sebagai sennu-sennungeng
ri decengnge (kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka
agama berusaha untuk mencari legalitas atau dalil mappacci dalam kitab suci
untuk memperkuat atau mengokohkan budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama
Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail.[13]
III.
PENUTUP
A.
SIMPULAN
·
Mappacci
/ mappepaccing adalah salah satu rangkaian kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Bone yang dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu
syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai perempuan sehari sebelum pesta
walimah pernikahan.
·
Bantal yang terbuat
dari kain, Pucuk daun pisang yang diletakkan diatas bantal, Sarung bugis
(sebanyak tujuh lembar diletakkan secara berlapis-lapis diatas pucuk daun
pisang lipa’sabbe), Daun nangka, Benno (kembang beras) ditaruh dalam sebuah
piring dan diletakkan berdekatan dengan tempat daun pacci, Pesse’ pelleng yaitu
alat penerang masa lalu, Air yang ditaruh dalam sebuah mangkok sebagai tempat
mencuci tangan.
·
Upacara adat
mappacci dilaksanakan Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga
atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba,
acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas
barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong bunting yang
kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas
untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil
didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu
menuju pelaminan. Acara Mappacci ini diakhiri dengan
peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.
DAFTAR
PUSTAKA
Lamallongeng, Asmat Riady. “Dinamika Perkawinan Adat Bone dalam Masyarakat Bugis Bone”, jilid
I. Cet.I; Watampone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007
Youshand, Andi. “
Upacara Mappacci Adat Bugis Bone”, jilid I. Cet.I; Watampone : Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, 2009
WAWANCARA :
-
A.
Muh. Yunus. S.sos. (09-12-2012) Ketua I Lembaga Seni Budaya Arung Palakka
-
Fitri
Pa’Bentengi. S.Pd. (09-12-2012) Sekretaris Umum Dewan Kesenian Bone
[1] Asmat riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Bone dalam
Masyarakat Bugis Bone, jilid I(Cet.I.; watampone:Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Bone, 2007), h.27
[2] Ibid
[3] Ibid., h. 28
[4] Ibid., h.29
[5] Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Bone, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 9 Desember
2012
[6]
Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone,
Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[7] Andi Youshand, Upacara Mappacci Adat Bugis Bone, jilid I(Cet.I.; watampone:Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Bone, 2009), h.7
[8] Ibid., h.9
[9] A. Muh. Yunus.S.sos., Ketua I Lembaga
Seni Budaya Arung Palakka, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang,
Tanggal 09 Desember 2012
[10] A. Muh. Yunus.S.sos., Ketua I Lembaga
Seni Budaya Arung Palakka, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan Tanete Riattang,
Tanggal 09 Desember 2012
[11]
Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone, Kecamatan
Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[12]
Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone,
Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
[13]
Fitri pa’bentengi, Sekretaris Umum
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, “Wawancara”, Watampone,
Kecamatan Tanete Riattang, Tanggal 09 Desember 2012
Langganan:
Postingan (Atom)